Dahulu kala di dusun Gerbong, hiduplah Puyang Kucea bersama neneknya. Mereka tinggal di tepi sungai Lais, sebuah dangau yang terpisah dari perkampungan. Dangau itu bertiang 12 setinggi tujuh anak tangga, menghadap ke jalan warga menuju ke pemandian. Pada zaman itu warga mandi disungai, Unen namanya.
Puyang Kucea menjadi yatim piatu sejak masih remaja, ayahnya meninggal terbawa arus sungai Lais ketika sedang mencari ikan di lubuk Gerbong, setahun kemudian, ibunya juga meninggal karena sakit yang dideritanya.
Kucea bukanlah nama aslinya, itu nama alias karena sebuah kecelakaan sehingga ia berjalan pincang. Ia jatuh di tangga rumahnya, sendi pahanya terlepas, yang dalam bahasa rejang disebut Tekucea. Tekucea bukan keseleo, keseleo dalam bahasa rejang disebut Tekelis.
Saat itu tiga bulan menjelang bulan puasa, dusun Gerbong menjadi sangat ramai karena sanak saudara yang merantau telah kembali pulang. Bahkan yang berkebun, mereka pulang lebih awal karena ladang padi darat mulai mengetam, dan lagi, pernikahan anak ketua adat akan dilaksanakan bulan depan.
Dusun Gerbong sangat ramai kala itu, sehingga tumpukan damar yang biasanya menggunung di bawah dangau puyang Kucea tidak terlihat sama sekali. Habis diborong warga.
Damar kala itu menjadi kebutuhan pokok, baik sebagai bahan pengawet bahan bangunan, juga sebagai bahan bakar penerangan. Belum ada minyak tanah, apalagi listrik. Sehingga warga memborong damar Puyang Kucea yang terkenal berkualitas bagus, sebab Puyang Kucea hanya mengambil damar hutan yang belum terkubur. Sebagian besarnya didapat dengan memanjat, sehingga terlihat bersih dan mengkilat.
Beberapa hari ini Kucea dan neneknya membantu Kutai memanen padi darat di ladangnya. Saat di Ladang itu, Kucea berkesempatan bercengkrama dengan teman kecilnya, Seri, yang saat ini telah tumbuh menjadi seorang putri cantik. Tak heran bila Seri menjadi idaman pemuda dusun Gerbong, bahkan kecantikannya tersohor ke desa jauh hingga Dusun Rajo. Seri mengingatkan Ia pernah memesan Damar kepada Kucea saat menumpang menumbuk bubuk kopi di dangau Kucea.
Perbincangan sesaat siang itu membuat Kucea gelisah semalaman, Nafsu makannyapun terganggu. Seandainya Kutai yang minta, mungkin saja ia akan mendapatkan alasan walaupun sulit untuk menolaknya. Tapi ini Seri, Ia takut menyesal seumur hidup bila tak memenuhinya.
Pagi telah tiba, Kuceapun melakukan aktifitasnya seperti biasa, mengambil air, mengasah peralatan dan memasukkan bekal yang telah nenek persiapkan kedalam beronang. Setelah itu ia meminum kopi yang telah nenek hidangkan di beranda dangau. Menurut Kucea, semuanya telah berjalan normal.
Tapi emang dasar nenek-nenek, sekuat apapun Kucea berusaha menyembunyikan sesuatu darinya, selalu saja nenek mengetahuinya. Seperti suatu hari Kucea pernah menyembunyikan bangkai anak kucing kesayangan nenek yang tak sengaja terinjak, tiga hari kemudian nenek menemukannya. Padahal Kucea telah menyembunyikannya di atas kayu bubungan dangau.
“Apa yang menutupi sinar ketampanan cucu nenek hari ini..?” Tanya nenek menghampirinya sambil memainkan sendok mengaduk segelas kopi ditangan kirinya.
Kucea berusaha menebar senyuman, terlihat garis-garis hitam disela giginya yang kuning. Ia mengangkat gelas kopinya, mencari aromanya, kemudian menyeruputnya dengan perlahan. Sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan nenek yang telah duduk berseberangan meja dengannya.
“Kucea..?” tegur nenek dengan tatapan menyelidik, menusuk tajam ke mata Kucea yang segera kelilipan sebelum sempat mencapai jauh lebih dalam.
“Kucea, nenek tau engkau kemaren merokok bersama mang Bahuk, wak Julai dan yang lainnya, nenek tidak marah walaupun nenek benci sekali perbuatan itu.”
Kucea lalu tertunduk, dan mengakhiri urusannya dengan matanya yang menjadi merah karena dikucek-kucek. “Maaf nek, tak akan aku ulangi lagi..” ujarnya pelan dan menggerakkan tangannya perlahan ke gelas yang masih menguapkan aroma khas kopi pedesaan.
“Nenek tidak perlu memarahimu soal itu, bila harus, nenek sudah melakukannya sejak kemarin..”
“Terima kasih nek..”
Nenek kemudian membuka bekal yang telah Kucea susun di dalam beronang, mengeluarkan pisang goreng yang dibungkus daun pisang dan meletakkannya di atas meja. Kucea hanya memperhatikan kelakuan neneknya dengan pertanyaan dan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Bukankah sebentar lagi rombongan akan segera tiba dan kita akan segera berangkat nek..?” Tanya Kucea penasaran.
Dan memang benar, dari kejauhan telah terdengar samar celoteh riuh rombongan warga yang sesekali juga nyaring bersahutan saling sapa mengingatkan, atau sekedar basa-basi berpamitan, juga mengajak berbarengan. Gambaran tingkah pola keramahan yang sangat wajar ditemukan di daerah pedesaan yang dibangun atas dasar kekeluargaan.
“Rombongan kita semakin dekat..” Resah Kucea karena nenek tidak juga berhenti membongkar muatan didalam beronangnya.
“Kutai tidak akan marah kalau kita tidak datang ke ladangnya hari ini, walau dimarahpun, nenek bisa meminta maaf..” Nenek tersenyum dan memandang sekilas, dilihatnya alis cucunya yang semakin terpicing, sehingga terlihat jelas keningnya berkerut seperti memperlihatkan garis-garis kehidupan yang susah untuk diramalkan.
“Tapi nek, kita sudah berjanji akan menyelesaikan pekerjaan di ladang Kutai..” Kucea mencoba mengingatkan neneknya yang telah selesai membongkar seluruh isi beronangnya yang sarat akan muatan.
“Nenek bisa meminta maaf cung..” Jawab nenek dengan tatapan iba sembari kembali mengahadapi kopinya yang terlupakan beberapa saat, “Namun nenek tidak bisa memaafkan nenek bila cucu nenek tidak merasa bahagia dengan apa yang dikerjakannya.” Lanjut nenek.
“Sbeiy kuceaaa..!, berangkat kita..!.” teriak rombongan warga yang melintasi jalan setapak di depan dangau mereka.
“Pergilah, sepertinya aku tidak enak badan hari ini..” Jawab nenek masih dari tempat duduknya.
“Lah..” Timpal salah seorang rombongan itu kaget. Beberapa langkah waktu kemudian rombongan itu telah berada di tangga dangau, beberapa wargapun telah berbincang-bincang memastikan keadaan nenek.
Tak terlalu lama, merekapun berpamitan dan berjanji akan menyampaikan permohonan maaf nenek kepada Kutai. Kucea mengantarkan mereka hingga ke pintu beranda, berdiri mematung disana hingga semua rombongan itu tak terlihat di seberang sungai. Mataharipun mulai menyembul dari puncak bukit barisan, memendarkan cahayanya yang dibiaskan oleh embun yang jatuh melintasi daun kopi satu persatu, hingga terjatuh dan bersembunyi di balik dedaunan coklat yang tertumpuk di permukaan.
“Kucea..”
“Iya nek..” Kucea tersentak kaget dan menoleh ke arah neneknya.
“Istirahatlah dahulu kalau dengan itu bisa membuatmu merasa lebih nyaman..” Lanjut nenek sembari membungkuk mengemasi beberapa peralatan.
“Tapi aku belum melakukan apa-apa sehingga aku harus istirahat..” jawab Kucea polos.
“Fikiranmu juga perlu istirahat agar selalu dipenuhi dengan fikiran-fikiran baik cung..” Jawab nenek sembari berjalan ke dalam dangau membawa peralatan yang batal digunakan.
Kucea melangkah ke ujung bangku panjang dimana tadi Ia menikmati kopi kental dengan gula aren racikan neneknya, Ia meminumnya sampai hanya menyisakan endapan yang tak larut. Kemudian membawa cangkirnya ke dapur setelah membebankan dadanya diatas meja untuk beberapa saat.
Nenek terheran-heran melihat cucunya menyarungkan golok dan menggapai tali yang tergantung di dekat tumpukan kayu bakar. Biasanya cucunya hanya membawa golok saat hatinya sedang risau dan duduk di atas batu balai dengan kaki terjuntai di lubuk gerbong.
Puyang Kucea menjadi yatim piatu sejak masih remaja, ayahnya meninggal terbawa arus sungai Lais ketika sedang mencari ikan di lubuk Gerbong, setahun kemudian, ibunya juga meninggal karena sakit yang dideritanya.
Kucea bukanlah nama aslinya, itu nama alias karena sebuah kecelakaan sehingga ia berjalan pincang. Ia jatuh di tangga rumahnya, sendi pahanya terlepas, yang dalam bahasa rejang disebut Tekucea. Tekucea bukan keseleo, keseleo dalam bahasa rejang disebut Tekelis.
Saat itu tiga bulan menjelang bulan puasa, dusun Gerbong menjadi sangat ramai karena sanak saudara yang merantau telah kembali pulang. Bahkan yang berkebun, mereka pulang lebih awal karena ladang padi darat mulai mengetam, dan lagi, pernikahan anak ketua adat akan dilaksanakan bulan depan.
Dusun Gerbong sangat ramai kala itu, sehingga tumpukan damar yang biasanya menggunung di bawah dangau puyang Kucea tidak terlihat sama sekali. Habis diborong warga.
Damar kala itu menjadi kebutuhan pokok, baik sebagai bahan pengawet bahan bangunan, juga sebagai bahan bakar penerangan. Belum ada minyak tanah, apalagi listrik. Sehingga warga memborong damar Puyang Kucea yang terkenal berkualitas bagus, sebab Puyang Kucea hanya mengambil damar hutan yang belum terkubur. Sebagian besarnya didapat dengan memanjat, sehingga terlihat bersih dan mengkilat.
Beberapa hari ini Kucea dan neneknya membantu Kutai memanen padi darat di ladangnya. Saat di Ladang itu, Kucea berkesempatan bercengkrama dengan teman kecilnya, Seri, yang saat ini telah tumbuh menjadi seorang putri cantik. Tak heran bila Seri menjadi idaman pemuda dusun Gerbong, bahkan kecantikannya tersohor ke desa jauh hingga Dusun Rajo. Seri mengingatkan Ia pernah memesan Damar kepada Kucea saat menumpang menumbuk bubuk kopi di dangau Kucea.
Perbincangan sesaat siang itu membuat Kucea gelisah semalaman, Nafsu makannyapun terganggu. Seandainya Kutai yang minta, mungkin saja ia akan mendapatkan alasan walaupun sulit untuk menolaknya. Tapi ini Seri, Ia takut menyesal seumur hidup bila tak memenuhinya.
Pagi telah tiba, Kuceapun melakukan aktifitasnya seperti biasa, mengambil air, mengasah peralatan dan memasukkan bekal yang telah nenek persiapkan kedalam beronang. Setelah itu ia meminum kopi yang telah nenek hidangkan di beranda dangau. Menurut Kucea, semuanya telah berjalan normal.
Tapi emang dasar nenek-nenek, sekuat apapun Kucea berusaha menyembunyikan sesuatu darinya, selalu saja nenek mengetahuinya. Seperti suatu hari Kucea pernah menyembunyikan bangkai anak kucing kesayangan nenek yang tak sengaja terinjak, tiga hari kemudian nenek menemukannya. Padahal Kucea telah menyembunyikannya di atas kayu bubungan dangau.
“Apa yang menutupi sinar ketampanan cucu nenek hari ini..?” Tanya nenek menghampirinya sambil memainkan sendok mengaduk segelas kopi ditangan kirinya.
Kucea berusaha menebar senyuman, terlihat garis-garis hitam disela giginya yang kuning. Ia mengangkat gelas kopinya, mencari aromanya, kemudian menyeruputnya dengan perlahan. Sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan nenek yang telah duduk berseberangan meja dengannya.
“Kucea..?” tegur nenek dengan tatapan menyelidik, menusuk tajam ke mata Kucea yang segera kelilipan sebelum sempat mencapai jauh lebih dalam.
“Kucea, nenek tau engkau kemaren merokok bersama mang Bahuk, wak Julai dan yang lainnya, nenek tidak marah walaupun nenek benci sekali perbuatan itu.”
Kucea lalu tertunduk, dan mengakhiri urusannya dengan matanya yang menjadi merah karena dikucek-kucek. “Maaf nek, tak akan aku ulangi lagi..” ujarnya pelan dan menggerakkan tangannya perlahan ke gelas yang masih menguapkan aroma khas kopi pedesaan.
“Nenek tidak perlu memarahimu soal itu, bila harus, nenek sudah melakukannya sejak kemarin..”
“Terima kasih nek..”
Nenek kemudian membuka bekal yang telah Kucea susun di dalam beronang, mengeluarkan pisang goreng yang dibungkus daun pisang dan meletakkannya di atas meja. Kucea hanya memperhatikan kelakuan neneknya dengan pertanyaan dan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Bukankah sebentar lagi rombongan akan segera tiba dan kita akan segera berangkat nek..?” Tanya Kucea penasaran.
Dan memang benar, dari kejauhan telah terdengar samar celoteh riuh rombongan warga yang sesekali juga nyaring bersahutan saling sapa mengingatkan, atau sekedar basa-basi berpamitan, juga mengajak berbarengan. Gambaran tingkah pola keramahan yang sangat wajar ditemukan di daerah pedesaan yang dibangun atas dasar kekeluargaan.
“Rombongan kita semakin dekat..” Resah Kucea karena nenek tidak juga berhenti membongkar muatan didalam beronangnya.
“Kutai tidak akan marah kalau kita tidak datang ke ladangnya hari ini, walau dimarahpun, nenek bisa meminta maaf..” Nenek tersenyum dan memandang sekilas, dilihatnya alis cucunya yang semakin terpicing, sehingga terlihat jelas keningnya berkerut seperti memperlihatkan garis-garis kehidupan yang susah untuk diramalkan.
“Tapi nek, kita sudah berjanji akan menyelesaikan pekerjaan di ladang Kutai..” Kucea mencoba mengingatkan neneknya yang telah selesai membongkar seluruh isi beronangnya yang sarat akan muatan.
“Nenek bisa meminta maaf cung..” Jawab nenek dengan tatapan iba sembari kembali mengahadapi kopinya yang terlupakan beberapa saat, “Namun nenek tidak bisa memaafkan nenek bila cucu nenek tidak merasa bahagia dengan apa yang dikerjakannya.” Lanjut nenek.
“Sbeiy kuceaaa..!, berangkat kita..!.” teriak rombongan warga yang melintasi jalan setapak di depan dangau mereka.
“Pergilah, sepertinya aku tidak enak badan hari ini..” Jawab nenek masih dari tempat duduknya.
“Lah..” Timpal salah seorang rombongan itu kaget. Beberapa langkah waktu kemudian rombongan itu telah berada di tangga dangau, beberapa wargapun telah berbincang-bincang memastikan keadaan nenek.
Tak terlalu lama, merekapun berpamitan dan berjanji akan menyampaikan permohonan maaf nenek kepada Kutai. Kucea mengantarkan mereka hingga ke pintu beranda, berdiri mematung disana hingga semua rombongan itu tak terlihat di seberang sungai. Mataharipun mulai menyembul dari puncak bukit barisan, memendarkan cahayanya yang dibiaskan oleh embun yang jatuh melintasi daun kopi satu persatu, hingga terjatuh dan bersembunyi di balik dedaunan coklat yang tertumpuk di permukaan.
“Kucea..”
“Iya nek..” Kucea tersentak kaget dan menoleh ke arah neneknya.
“Istirahatlah dahulu kalau dengan itu bisa membuatmu merasa lebih nyaman..” Lanjut nenek sembari membungkuk mengemasi beberapa peralatan.
“Tapi aku belum melakukan apa-apa sehingga aku harus istirahat..” jawab Kucea polos.
“Fikiranmu juga perlu istirahat agar selalu dipenuhi dengan fikiran-fikiran baik cung..” Jawab nenek sembari berjalan ke dalam dangau membawa peralatan yang batal digunakan.
Kucea melangkah ke ujung bangku panjang dimana tadi Ia menikmati kopi kental dengan gula aren racikan neneknya, Ia meminumnya sampai hanya menyisakan endapan yang tak larut. Kemudian membawa cangkirnya ke dapur setelah membebankan dadanya diatas meja untuk beberapa saat.
Nenek terheran-heran melihat cucunya menyarungkan golok dan menggapai tali yang tergantung di dekat tumpukan kayu bakar. Biasanya cucunya hanya membawa golok saat hatinya sedang risau dan duduk di atas batu balai dengan kaki terjuntai di lubuk gerbong.
Cerita Singkat Legenda Tik Baes
Reviewed by Ipit Kalamintoena
on
09.15
Rating:
Tidak ada komentar: